Kamis, 14 Oktober 2010

Konsep-konsep antropologi

a)Konsep evolusi sosial universal H. Spencer

Konsep Spencer mengenai proses evolusi universal yaitu seluruh alam itu, baik yang berwujud nonorganis, organis, maupun superorganis berevolusi karena di dorong oleh kekuatan mutlak yang disebut evolusi universal. Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal dari umat manusia, menunjukkan bahwa dalam garis besaarnya Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun ia tak mengabaikan bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses.
Spencer pernah mengajukan suatu konsep mengenai proses evolusi pada umumnya. Menurutnya, seperti dalam proses evolusi biologi di mana jenis-jenis makhluk yang bisa hidup lanngsung itu adalah jenis-jenis yang paling cocok dengan persyaratan lingkungannya alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup, yaitu kebutuhan masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest”, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya.

b)Konsep kulturkreis dan kulturschicht dari Graebner

F. Graebner mendapat ide untuk menggunakan suatu cara baru untuk menyusun benda-benda kebudayaan di museum. Benda-benda itu biasanya disusun menurut asalnya, tetapi Graebner mencoba untuk menyusunnya berdasarkan persamaan dari unsur-unsur tersebut. Sekumpulan tempat di mana ditemukan benda yang sama sifatnya itu oleh Graebner disebut satu Kulturkreis.

Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam berbagai kulturkreise itu berjalan sebagai berikut :

Seorang peneliti mula-mula harus melihat di tempat-tempat mana di muka bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama.

Si peneliti kemudian harus melihat apakah di suatu daerah terdapat unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur kebudayaan di daerah yang lain. Alasan pembandingan berupa suatu kuantitas dari berbagai unsur kebudayaan disebut Quantitas Kriterium. Tiap-tiap kelompok dari unsur-unsur yang sama tadi masing-masing disebut Kulturkompleks.

Akhirnya peneliti menggolongkan semua tempat yang menjadi pembanding tersebut menjadi satu, seolah-olah memasukkan tempat -tempat tersebut di atas peta bumi ke dalam satu lingkaran.

Tempat-tempat tadi menjadi satu Kulturkreis. Dengan melanjutkan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar berbagai kulturkreise,yang saling berpadu dan bersimpang-siur. Dengan demikian akan tampak gambaran persebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau. Dengan klasifikasi kulturkreise itu direkonstruksikan Kulturhistorie umat manusia dan tampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Dalam kenyataan, klasifikasi kulturkreise itu tidak mudah disusun karena banyak yang harus diperhatikan. Jumlah unsur-unsur dari beribu-ribu kebudayaan yang tersebar di muka bumi ini dapat mencapai angka ratusan ribu. Itulah sebabnya sampai sekarang belum ada ahli yang berhasil mengklasifikasikan semua kebudayaan di dunia itu ke dalam berbagai kulturkreise tertentu. Karena itu juga Kulturhistorie umat manusia juga belum pernah dapat direkonstruksikan kembali.

c)Konsep daerah kebudayaan dari Wissler

Konsep Culture Area Wissler merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Konsep Culture Area dikembangkan karena kebutuhan Wissler untuk mengklasifikasikan benda-benda dari kebudayaan-kebudayaan suku bangsa Indian yang tinggal terpencar di Benua Amerika Utara ke dalam golongan-golongan tertentu guna pameran di museum.

Satu Culture Area menggolongkan berpuluh-puluh kebudayaan yang masing-masing berbeda ke dalam satu golongan, berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri yang mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri itu tidak hanya berupa unsur kebendaan, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, senjata, ornamen, bentuk dan gaya pakaian, bentuk tempat kediaman dan sebagainya, tetapi juga unsur-unsur yang lebih abstrak, seperti unsur-unsur sistem organisasi sosial, dasar-dasar mata pencaharian hidup, sistem perekonomian, upacara keagamaan, dan sebagainya. Ciri-ciri mencolok yang sama dalam sejumlah kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat suatu Culture Area yang menunjukkan persamaan-persamaan yang besar dari unsur-unsur alasan tadi. Makin jauh dari pusat, makin berkurang pulalah jumlah unsur alasan yang sama, dan akhirnya persamaan itu habis, lalu mulailah kita masuk ke dalam suatu Culture Area tetangga. Dengan demikian garis-garis yang membatasi dua buah Culture Area tidak pernah jelas, karena pada daerah perbatasan itu unsur-unsur dari kedua Culture Area itu selalu tampak bercampur.

d)Konsep azas klasifikasi elementer dari Levi-Strauss

Secara universal manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya, yaitu ia merasa dirinya ber-ototeman (dalam bahasa Ojibwa berarti “dia adalah kerabat pria saya”) dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer.

Metode Levi-Strauss untuk menganalisa gejala-gejala sosial yang menurut pengertiannya berakar dalam cara-cara berpikir elementer dari akal manusia untuk menggolongkan diri sendiri atau kelompok sendiri dengan lingkungan alam atau lingkungan sekitarnya. Selain itu, pendirian Levi-Strauss mengenai cara-cara logika elementer dari akal manusia itu untuk mengklaskan alam semesta dan masyarakat sekitarnya ke dalam beberapa kategori dasar.

Usaha Levi-Strauss dalam menganalisa sistem-sistem kekerabatan dan mitologi, ia tidak bermaksud mencari azas-azas universal dari proses-proses berpikir simbolik yang menyebabkan sistem kekerabatan di dunia hidup dan berjalan biasanya. Dalam analisa Levi-Strauss mengenai sistem kekerabatan, ia mengaitkan sistem-sistem kekerabatan itu dengan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan. Adapun analisanya mengenai mitologi azas-azas dan prosses-proses berpikir bersahaja dan azas-azas simbolisme yang diabstraksi itu, bersifat benar-benar abstrak dan universal, dan tidak terikat kepada kompleks mitologi dari masyarakat atau kebudayaan yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar