Kamis, 16 April 2009

Fiqh

Dengan diturunkannya wahyu kepada nabi Muhammad saw mulailah tarikh tasyri’ islami. Sumber tasyri’ islami adalah wahyu (kitabullah dan sunnah rasulullah). Ayat-ayat mengenai tasyri’ kebanyakan ayat madaniyah, setelah rasul hijrah ke Madinah. Ayat-ayat ahkam berkisar 200-300 ayat di banding 6348 ayat al Qur’an1
Ayat tasyri’ tidak datang sekaligus, melainkan berangsur-angsur dan bertahap (tadrij). Tadrij ini berhubungan adat-adat bangsa arab meninggalkan adat-adatnya yang lama, mengganti dengan hukum-hukum yang baru (hukum islam)
Nabi sebagai seorang ummi, beliau tidak menuliskan kitab al Qur’an, melainkan di tulis oleh para sahabat penulis wahyu dan di hafal oleh segenap kaum muslimin.
Selain al Qur’an dan sunnah rasulullah, nabi sendiri memberikan contoh ijtihad apa bila tiada nash al Qur’an, sedangkan persoalan harus segra di selesaikan, yaitu ketika menyelesaikan masalah tawanan perang badar, walaupun ijtihad rasul itu di benarkan oleh banyak ayat al Qur’an.
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa’ (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra ‘yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ‘ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
• Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
• Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta’akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
• Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi ‘i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ‘i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-100.html


Masa Rasul SAW adalah masa terbaik, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam hadis: “Sebaik-baik masa adalah masaku…”. Dengan tuntunan Allah SWT, Rasul SAW berhasil membangun pondasi Syari’at dan menyempurnakannya, dan memang itulah fungsi beliau sebagai utusan Tuhan Yang Maha Tinngi, Allah Ta’ala. Pondasi Syari’at dibangun pada awal masa kerasulan, yaitu di kota Mekah, sehingga fase ini dikenal juga dengan Periode Makkiyah. Sedangkan penyempurnaannya terjadi terjadi pasca peristiwa hijarah ke Madinah, sehingga fase ini dikenal juga dengan Periode Madaniyah.
Sebagai fase pembinaan pondasi, Periode Makkiyah lebih fokus kepada problematika akidah, akhlak, serta beberapa ibadah pokok sebagai bentuk simbol kongkrit aktualisasi akidah. Dalam bidang Akidah dan keimanan, Rasul SAW fokus kepada pemberantasan kemusyrikan dan kebenaran datangnya hari pembalasan. Dalam bidang akhlak, Rasul SAW menghapus semua perilaku, adat dan kebiasaan jahiliyah yang bertentangan dengan fitrah manusia, mesekaligus memberikan contoh kongkrit akhlak yang mulia dalam keseharian beliau. Sedangkan ibadah yang dikenal ketika itu baru berupa ibadah pokok, seperti shalat. Dengan konsentrasi pada hal-hal tersebut, Rasulullah SAW telah berhasil membuat pondasi Islam yang kuat, yang tercermin pada kepribadian para Sahabat-Sahabat beliau.
Berpindah ke Madinah merupakan tahap penyempurnaan dan pembangunan secara utuh. Hal itu disebabkan karena kondisi sosial masyarakat Madinah yang lebih terbuka terhadap ajaran Islam. Pada fase inilah disempurnakan aturan praktis Syari’at Islam, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah.
Di kedua periode di tersebut, Rasulullah saw adalah satu-satunya sumber hukum dan syari’at (dalam artian referensi) bagi umat yang ketika itu masih belum terlalu banyak. Dalam mengembangankan risalah Islam dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di waktu itu, Rasulullah saw selalu dituntun Allah dengan wahyu-Nya, sehingga tidak ada pertikaian dan perbedaan diantara Sahabat yang sangat krusial. Dalam masalah asasi di dalam agama, para sahabat tidak menuntut terlalu banyak dari Rasul dan mereka cukup puas dengan wahyu yang diturunkan Allah dan beberapa ijtihad yang kemudian diakui oleh wahyu, sedangkan dalam masalah-masalah furu’ (masalah cabang/bukan asasi), para sahabat mengembalikannya kepada Rasulullah saw, dan kemudian Rasul saw akan berijtihad dengan pengarahan wahyu Allah swt, sehingga potensi perbedaan pendapat bisa dikatakan tidak ada, dalam beberapa kesempatan Rasulullah saw mengizinkan beberapa orang sahabatnya berijtihad dan berfatwa, dan Rasul saw tidak pernah salah dalam hal-hal asasi karena Rasul terjaga dari hal seperti itu, sehingga sahabat yang mendapat izin dari Rasul untuk berfatwa tidak ditemukan kejanggalan dan keanehan dari fatwanya, bahkan dalam prakteknya jika mereka ragu dalam berfatwa tetap saja mereka kembali kepada Rasul saw.
Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah yang tidak selesai hingga akhir hayat Rasulullah saw, karena Rasulullah saw tidak akan meninggal hingga semua masalah tuntas, dan itulah tugas beliau selaku rasul terakhir, menyempurnakan urusan duniawi dan ukhrawi manusia, sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam al-Qur’an,
“…pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah: 3)
Memperhatikan perkembangan Syari’ah di masa Rasul SAW, dapat dikatakan bahwa Fiqh sebagai sebuah ilmu belum ada, dan bahkan makna fiqh yang berkembang ketika itu adalah makna bahasa (etimologi), yaitu pemahaman. Maka siapapun yang memahami agama secara utuh disebut Faqih (ahli fiqh/orang yang paham). Namunpun demikian, esensi Fiqh jelas sudah ada di masa Rasul, karena kedua sumber utama Fiqh sudah muncul, bahkan jika memperhatikan metode Rasul dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan, maka bisa dikatakan Rasul telah mempraktekkan beragam metode ijtihad yang dikenal belakangan, seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Saddu al-Dzari’ah, memperhatikan Mashlahah dan sebagainya. Dan kemudian semua hasil ijtihadnya itu masuk dalam kategori Sunnah.
Munculnya Dua Aliran Besar Dalam Fiqh Islami
Pasca wafatnya Rasulullah saw, para sahabat dihadapkan langsung dengan perbedaan dan perpecahan umat, perbedaan pertama yang terjadi adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, yaitu tentang wafatnya Rasulullah saw, ada sebagian kalangan sahabat yang tidak mengakui wafatnya Rasul saw, namun perpecahan ini segera diselesaikan oleh Abu Bakar r.a dengan membacakan firman Allah, surat az-Zumar ayat 30,
“Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula)”.
Kemudian mengucapkan sepotong perkataan yang begitu masyhur: “Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah maka Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati”. Perkataan Abu Bakar r.a ini mampu meredam perpecaan yang terjadi saat itu.
Perpecahan umat tidak berhenti sampai di situ, dalam sisi hukum juga terjadi perbedaan yang sangat kuat di kalangan sahabat, yaitu dengan munculnya perbedaan sahabat dalam menyikapi masalah siapa yang berhak menggantikan Rasul saw sebagai khalifah dan mereka juga bersilang pendapat dalam menyikapi timbulnya golongan orang-orang yang enggan membayar zakat dan golongan orang-orang yang murtad.
Perbedaan-perbedaan ini terus terjadi dikalangan sahabat meski dalam skala yang masih kecil. Sebenarnya perbedaan diantara sahabat sudah mulai ada sejak masa Rasul saw hidup, akan tetapi keberadaan Rasul saw bisa menjadikan perbedaan diantara para sahabat tidak begitu terasa. Di zaman Rasulullah saw telah dikenal juga bahwa Umar bin Khattab r.a, Abdullah bin Abbas r.a dan Mu’az bin Jabal r.a merupakan tipikal orang-orang yang cenderung logis, sementara Abdullah bin Umar r.a dan Zaid bin Tsabit r.a adalah orang yang cenderung kuat berpegang dengan teks, atau Abu Hurairah r.a yang lebih cenderung sufistik. Dan ketika Rasulullah saw wafat sementara para sahabat dihadapkan kepada beberapa permasalahan-permasalahan baru yang butuh solusi cepat, maka ketika itu embrio-embrio kecenderungan masing-masing sahabat itu terpancing keluar dengan sendirinya dalam kadar yang lebih besar dari yang sebelumnya.
Selanjutnya perluasan (futuhat) Islam terjadi besar-besaran terutama di masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. Perluasan ini menuntut penyebaran sahabat kebeberapa daerah baru untuk memberikan fatwa dan pengajaran tentang Islam yang benar dan sekaligus menjadi qadhi/hakim yang memutuskan perkara-perkara yang terjadi di daerah-daerah baru tersebut.
Perbedaan kondisi tiap daerah menyebabkan lahirnya perbedaan masalah yang timbul, kemudian perbedaan masalah ini yang dicoba diantisipasi oleh setiap sahabat di daerah mereka masing-masing. Dengan bekal ilmu yang ditinggalkan Rasul saw ditambah keragaman kecenderungan di atas, melahirkan perbedaan sikap diantara para sahabat tersebut. Namun masih untung di waktu itu perbedaan terjadi antar individu tanpa adanya sikap fatik terhadap satu orang sahabat dan baru terjadi di dalam lingkup yang belum terlalu luas apalagi mereka semua masih orang Arab tulen.
Dalam koridor cara berfatwa, para sahabat tersebut mengerucut menjadi dua golongan, satu golongan yang cenderung menggunakan logika dalam mengolah sumber asli, al-Qura’an dan Sunnah, sehingga mereka banyak mengeluarkan fatwa, dan satu golongan lagi cenderung berhati-hati sekali dalam membaca teks yang ada dan sangat memegang teguh teks-teks tersebut, bahkan ada yang mencela penggunaan logika dalam berfatwa, kondisi ini menyebabkan mereka tidak terlalu suka mengeluarkan fatwa-fatwa. Inilah embrio munculnya dua aliran besar dalam perkembangan Fiqh dan Ijtihad di beberapa dekade berikutnya.
Secara eksplisit Dr. Sya’ban Muhammad Ismail mengutarakan dua faktor penting pembentuk dua aliran besar fiqh tersebut:
1. Kondisi dan lingkungan daerah
2. Metodologi Faqih (ahli fiqh) itu sendiri dalam membahas dan menetapkankan hukum.
Dua faktor inilah yang memberikan warna khusus bagi hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing sahabat, yang klimaksnya membentuk watak daerah tempat fatwa tersebut lahir. Namun semua watak dan warna itu mengerucut kepada dua aliran besar, Madrasah al-Hadits (aliran tekstual) dan Madrasah ar-Ra’yi (aliran kontekstuan/logika).
Madrasah al-Hadits berkembang dan berpusat di daerah Hijaz, khususnya Madinah dan menjadikan para sahabat di Madinah sebagai rujukan, sementara Madrasah ar-Ra’yi berpusat di Iraq, khususnya Kufah, dan menjadikan para sahabat di Iraq sebagai rujukan mereka, terutama Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Meskipun demikian sebenarnya ada beberapa orang dari daerah-daerah tersebut yang tidak sepakat dengan corak yang ada di daerah mereka, seperti Rabiah ar-Ra’yi di Madinah yang cenderung kepada aliran Ra’yi, dan Imam Ibnu Sirin dan ats-Tsauri di Kufah yang menentang Madrasah ar-Ra’yi.
Untuk lebih jelasnya tentang dua aliran besar tersebut, penulis coba tampilkan sedikit profil keduanya, sehingga kita betul-betul paham apa yang dibentuk oleh kedua aliran tersebut.
Madrasah al-Hadits (Aliran Ahli Hadits - Tekstual)
Sebagaimana terdahulu bahwa aliran ini terkosentrasi di Madinah yang merupakan tempat asal Sunnah dan tempat berkumpulnya para ulama, karena merekalah orang-orang yang paling dekat dan paling mengenal Hadits Rasul saw waktu itu. Diantara pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit r.a, Abdullah bin Umar r.a dan ‘Aisyah r.a.
Aliran ini tidak hanya berkembang di Hijaz, tapi juga meluas ke daerah-daerah Syam, Mesir bahkan Iraq sendiri. Diantara ulama-ulama terkenal yang tergolong terlahir dari aliran ini adalah Amir asy-Sya’bi r.a (tabi’in Kufah), Imam Sufyan ats-Tsauri r.a (tabi’ tabi’in dan ulama Kufah), Imam al-Auza’i r.a (ulama Syam), Yazid bin Habib r.a (ulama Mesir pertama yang mengajak masyarakat Mesir untuk mencurahkan perhatian kepada Hadits), Imam Sa’id ibnu al-Musayyib r.a, Imam Malik r.a, Imam Syafi’i r.a, Imam Ahmad bin Hanbal r.a dan Imam Dawud azh-Zhahiri r.a.
Metodologi Penetapan Hukum Madrasah al-Hadits
Secara umum Fuqaha’ aliran ini yang berdiam di Hujaz berpatokan dan berpegang kuat terhadap teks-teks yang ada, karena mereka memang memiliki teks-teks Hadits yang banyak. Dan mereka sangat enggan memakai logika, karena sedikit sekali permasalahan-permasalahan baru yang timbul di kalangan mereka, hal ini disebabkan juga oleh kesamaan kondisi dan lingkungan yang mereka hadapi dengan kondisi masa Rasul saw. Sedangkan Fuqaha’ mereka yang berada diluar Hijaz lebih ketat lagi dan bahkan menganggap memakai logika sama artinya menggunakan hawa nafsu dalam menetapkan hukum dan mereka menganggap hal tersebut memasukkan sesuatu yang tidak pantas ke dalam agama Allah ini.
Secara terperincinya, jika mereka dihadapkan kepada suatu masalah, langkah pertama yang mereka ambil adalah mencari solusinya di al-Qur’an dan Sunnah, jika mereka mendapatkan pertentangan diantara beberapa hadits mereka mengadakan kualifikasi dan penilaian terhadap perawi hadits. Jika tidak ditemukan di dalam Sunnah maka mereka beralih ke Atsar para sahabat. Jika tidak juga ada jawaban baru mereka menggunakan logika atau berhenti dahulu sampai mendapatkan jawaban (tawaqquf). Oleh karena itu ulama-lama kalangan ini tidak suka mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi (iftiradh).
Madrasah ar-Ra’yi (Aliran Ahli Logika - Kontekstual)
Berpusat di Kufah (Iraq) yang juga banyak melahirkan ulama-ulama umat Islam, sehingga bisa disejajarkan dengan Madinah, hanya saja Madinah lebih duluan dikenal sebagai pusat keilmuan.
Ada beberapa faktor yang menjadikan Iraq, Kufah khususnya, sebagai icon penting aliran ini:
1. Kondisi geografis Iraq yang jauh dari pusat Hadits, sehingga mereka hanya menerima sedikit hadits karena jumlah sahabat yang pernah datang ke daerah mereka juga tidak banyak, seperti Abdullah ibnu Mas’ud r.a, Ali bin Abi Thalib r.a, Sa’ad bin Abi Waqqash r.a, Abu Musa al-Asy’ari r.a, al-Mughirah bin Syu’bah r.a dan Anas bin Malik r.a.
2. Iraq merupakan daerah utama perpecahan umat Islam di waktu itu, karena di sanalah lahir dan berkembangnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Banyaknya perbedaan inilah kiranya yang menjadikan watak orang Iraq suka berlogika.
3. Di Iraq juga terjadi kasus-kasus hadits palsu yang disebarkan oleh orang-orang yang imannya belum mengakar kuat.
4. Kondisi lingkungan dan pola hidup serta kebiasaan masyarakat Iraq sendiri yang menimbulkan banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan sebelumnya di masa Rasul saw di Madinah.
5. Ulama besar dikalangan sahabat yang menjadi panutan mereka adalah Abdullah ibnu Mas’ud r.a yang sangat kagum dan banyak belajar dari cara berfikir Umar bin Khattab r.a dalam menggunakan logika dan mencari ‘ilah (sebab) hukum ketika tidak ditemukan nash (teks).
Diantara ulama-lama besar yang dikategorikan ke daslam aliran ini adalah Alqamah bin Qais an-Nakh’i r.a, al-Aswad bin Zaid an-Nakh’i r.a, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani r.a, Ubaidah bin Amru as-Salmani r.a, Syuraih bin al-Harits al-Qadhi r.a, al-Harits al-A’war r.a, Ibrahim an-Nakh’i r.a, Imam Abu Hanifah an-Nu’man r.a
Metodologi Penetapan Hukum Dan Karakter Madrasah ar-Ra’y
Secara umum aliran ini memiliki mainstream bahwa hukum syari’at telah sempurna sebelum wafatnya Rasul saw, syari’at itu bisa diterima akal logika dan syari’at itu terangkum kedalam beberapa kaedah/standar dan memiliki ‘ilat (sebab/alasan) hukum yang baku. Dengan demikian para Fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada itu dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ílat tadi ditemukan di masalah baru tersebut, inilah yang kemudian dikenal dalam sebuah kaidah hukum Islam “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”.
Ciri khusus lain aliran ini adalah para Fuqaha’-nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh), namun meskipun demikian mereka sangat ketat dalam menerima hadits, karena takut terhadap masuknya hadits palsu yang banyak beredar di sana.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bagaimana proses awal pembentukan mazhab fiqh itu dimulai dari dua aliran besar yang berakar dari para sahabat Rasulullah saw.
Pembukuan Ilmu Fiqh
Mazhab sahabat digolongkan mazhab fardi, yaitu yang berdiri dengan mengusung pemikiran satu orang saja, tidak melibatkan orang lain. Sedangkan mazhab-mazhab fiqh yang lahir kemudian hari digolongkan mazhab jama’i, karena mazhab ini merupakan hasil kolaborasi beberapa orang yang berpengaruh dalam perjalanan mazhab tersebut.
Dikalangan mazhab fardi tidak dikenal istilah pembukuan fiqh, sebab para sahabat khususnya takut akan terjadi fanatisme dan pengkultusan individu, sehingga dalam pengajarannya melakukan sistem ceramah dan hafalan saja. Di lain pihak, kalangan mazhab jama’i melakukan pembukuan ilmu fiqh berdasarkan mazhab masing-masing. Maka dapat disimpulkan bahwa pembukuan ilmu Fiqh baru terjadi seiring tumbuh dan berkembangnya mazhab-mazhab fiqh besar pasca masa Sahabat. Dan perlu dicatat bahwa pembukuan Ilmu Fiqh terjadi setelah terjadinya pembukuan Sunnah.
Pada awalnya Fiqh diajarkan melalui sistem halaqah-halaqah di masjid-masjid tanpa menggunakan buku khusus, dengan perjalanan waktu dan kebutuhan terhadap ilmu Fiqh semakin meluas sebagian praktisi halaqah tersebut mulai membukukan sebagian hukum untuk membatu proses transfer ilmu mereka, inilah cikal bakal pembukuan dalam ilmu Fiqh nantinya.
Di sisi lain, pada masa Bani Umayyah timbul perhatian sebagian Qadhi (hakim) beberapa daerah untuk membukukan hukum-hukum mereka, pembukuan hukum ini pertama kali dilakukan oleh seorang Qadhi Bani Umayyah di Mesir, yang membukukan hukum waris.
Ide pembukuan Fiqh ini semakin kuat, kemudian para Fuqaha’ Madinah mulai mengumpulkan ddan membukukan fatwa-fatwa para sahabat seperti Abdullah ibnu Umar r.a, Aisyah r.a, Abdullah bin Abbas r.a dsan beberapa ulama-lama besar di kalangan Tabi’in Madinah, diantara bukti kongkritnya adalah pembukuan Muwaththa’ Imam Malik r.a. Sementara di Iraq juga terjadi hal yang sama, diantaranya Ibrahim an-Nakh’i r.a yang mengumpulkan fatwa-fatwa ulama mereka.
Demikianlah awalnya yang terjadi adalah pembukuan fatwa-fatwa ulama yang sudah ada, dan selanjutnya keadaan terus berkembang dan mulailah guru-guru yang mengajarkan Fiqh menulis dan membukukan Fiqh mereka, biasanya mereka menyuruh salah seorang murid mereka untuk menuliskan apa yang mereka ajarkan.
Perkembangan selanjutnya, para murid yang menulis pelajaran guru-gurunya itu di beberapa kesempatan menambahkan penjelasan di dalam tulisan-tulisan tersebut, atau bahkan kadang juga terjadi perubahan-perubahan fatwa langsung dari sang guru.
Budaya pembukuan ini tidak menghilangkan kebiasaan mereka dalam sistem hafalan dan riwayat, mereka menggabungkan keduanya dengan menyebutkan atau meriwayatkan pendapat-pendapat beberapa orang Imam dalam buku-buku yang mereka tulis, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Hasan al-Hanafi. Namun lama-kelamaan budaya riwayah dikalangan ulama melemah sehingga mereka akhirnya bertumpu pada buku, mulai dari sinilah terjadi budaya pembukuan secara besar-besaran. Kondisi ini tidak sepenuhnya membawa nilai-nilai positif, negatifnya Fiqh menjadi rusak sehingga sebagian ulama menganggap perlunya mengoreksi kembali buku-buku yang ada dan kemudian mengadakan penjaringan terhadap buku-buku yang ada sehingga timbullah istilah kutub/muallafat mu’tabarah (buku-buku pokok).
Dari segi lain, perkembangan ilmu Fiqh di masa Umayyah sesungguhnya bercampur-baur dengan Hadits, Muwaththa’ Imam Malik r.a adalah bukti yang sangat kongkrit dalam menggambarkan kondisi ini, kebanyakan hal ini terjadi di Madinah, sementara di Iraq sudah ada buku-buku yang memisahkan Fiqh dari Hadits, salah satu bukti kongkritnya adalah buku al-Kharraj karangan Imam Abu Yusuf r.a.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya baru muncul banyak buku-buku Fiqh yang tidak lagi bercampur dengan Hadits, apalagi setelah berdirinya mazhab-mazhab fiqh.
Dalam fase berikutnya, materi-materi fiqh menjadi melauas sehinga buku-buku juga menjadi banyak dan besar, kondisi ini pada akhirnya menimbulkan ide baru dalam penulisan buku yaitu ide meringkaskan dan menyederhanakan masalah Fiqh yang sudah meluas itu, jenis buku itu disebut Mukhtasarat.
Percampuran antara arab dan non-arab menyebabkan kemunduran dalam bahasa Arab dan menyebabkan pemahaman terhadap teks-teks semakin melemah, sehingga menimbulkan metode baru dalam budaya pembukuan Fiqh yatu budaya men-syarah (menjelaskan teks) teks ilmu yang ada, sehingga jenis buku itu disebut syuruh/syarh. Metode syarh ini terus berkembang dan melahirkan budaya baru yang dikenal hawamisy, yaitu menambahkan catatan-catatan pinggir pada teks dan syarh sebuah buku. Perjalanan zaman terus memaksa mundurnya pemahaman orang terhadap bahasa Arab sehingga buku-buku jenis syarh dan hamisy tidak cukup untuk memahami ilmu Fiqh sehingga muncul budaya atau metode baru, yaitu metode hasyiyah, metode menjelaskan kembali apa yang ada di buku-buku syarh.
Pada saat inilah fase jumud (statis) dalam Fiqh Islami karena para ulama sedikit bahkan bisa dikatakan tidak berani lagi berijtihad dan hanya mencukupkan apa yang telah diwariskan oleh orang-orang sebelum merek, sehingga muncullah isu pintu ijtihad tertutup. Namun demikian, jika kita lihat dari sudut lain, sisi statis fiqh Islam sebenarnya tidaklah berarti fiqh itu mati 100%, buktinya hasil karangan-karangan yang muncul pada zaman tersebut tetap saja memiliki faedah besar bagi zaman sesusdahnya. Hanya saja ke-jumud-an itu dilihat dari keterpakuan ulama masa itu pada fiqh mazhab-mazhab yang ada, sehingga menimbulkan efek taklid yang luar biasa di kalangan masyarakat Islam kala itu.
Sampai datangnya zaman kontemporer sekitar satu dekade belakangan, khususnya abad 20, muncul metode baru dalam penulisan buku Fiqh, yaitu metode penulisan tematik sesuai kebutuhan masyarakat, artinya materi-materi Fiqh yang banyak dan selama ini dikumpulkan dalam satu buku yang sangat besar, mulai dipecah dan dibukukan menjadi beberapa buku, dengan tujuan untuk memudahkan dalam menyerap ilmunya.
Abad 20 (mungkin juga abad 19) bisa dianggap masa kebangkitan (nahdhah) Ilmu Fiqh, dengan pembaruan-pembaruan dalam bidang ini, ditambah dengan banyaknya timbul hal-hal baru dalam kehidupan yang menuntut adanya solusi hukum, sehingga isu tertutupnya pintu ijtihad pada abad ini mulai bisa dibantah secara besar-besaran, meskipun sebenarnya isu tersebut telah banyak dibantah ulama sejak munculnya.
Kebangkitan Fiqh juga ditandai dengan munculnya usaha-usaha pendekatan antar mazhab dan mulai adanya ide-ide baru dalam hukum Islam seperti ide ijtihad kolektif sebagai solusi dari ketatnya syarat ijtihad yang ada, ide ini tidak menghapuskan syarat ijtihad yang ada melainkan mencarikan solusi agar syarat ijtihad itu bisa relefan pada zaman ini.
Sebelum mengakhiri bab ini dan berpindah ke pembahasan mazhab fiqh, penulis ingin menyebutkan di sini beberapa penyebab penting terjadinya perbedaan di kalangan ulama:
1. Kebanyakan hukum-hukum yang terdapat di dalam sumber asli syari’at, al-Qur’an dan Sunnah, bersifat umum, sehingga membutuhkan kemampuan akal yang lebih dalam memahami, mengolah dan menetapkan hukum darinya.
2. Terdapat kata-kata yang memiliki banyak makna (musytarak) di dalam nash-nash yang ada.
3. Terdapat di dalam nash-nash tersebut kata-kata yang memiliki makna haqiqah (makna primer) dan makna majaz (makna sekunder), daslam masalah ini ulama berbeda dalam menentukan apakah makna haqiqah bisa dipakai atau tidak?.
4. Adanya pertentangan dan tarjih (pemilihan) antara nash, padahal seharusnya hukum-hukum syari’at itu tidak ada yang saling bertentangan.
5. Perbedaan mereka dalam memahami lafaz perintah dalam nash yang belum didahului larangan.
6.Adanya nash yang bersufat muthlaq dan muqayyad
7. Sunnah hingga waktu itu belum dibukukan, sehingga setiap ulama dalam menetapkan hukum sangat tergantung kepada ilmu dan hafalannya masing-masing.
8. Perbedaan dalam memahami lafaz hadits
9. Perbedaan kondisi lingkungan dan kebiasaan setempat
10. Perbedaan dalam bidang politik yang membawa kepada timbulnya Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah.
11. Perbedaan ulama dalam memandang Qiyas sebagai sumber hukum, terlebih-lebih jika Qiyas dibenturkan dengan Khabar Ahad.
12. Perbedaan ulama dalam mendefenisikan Ijma’.
Mungkin dua belas hal di atas bisa dikatakan juga sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya perbedaan di kalangan ulama. Dan sesungguhnya dari semua faktor dan penyebab perbedaan yang ada, jika dikumpulkan akan bermuara pada 3 hal sentral:
1. Perbedaan ulama dalam penguasaan nash, khususnya hadits, dalam artian ada beberapa nash yang dimiliki oleh sebagian ulama namun tidak dimiliki oleh sebagian yang lainnya, ini biasanya dipengaruhi oleh faktor geografis.
2. Perbedaan ulama dalam pemahaman nash.
3. Perbedaan ulama pada hal-hal yang tidak memiliki kaitan langsung dengan nash yang ada (fi ma la nash fih), atau dengan bahasa lain, perbedaan mereka dalam berijtihad.
Terakhir, perbedaan ulama dalam masalah-masalah Fiqh yang tergolong kategori furu’ dalam Islam tidak menjadikan mereka keluar dari agama, selama perbedaan itu tidak menyimpang dari hal-hal yang telah tetap dan disepakati (Ijmak), dan juga dengan syarat perbedaan itu bertujuan untuk mencari kebenaran. Dan kita tidak menganggap perbedaan ini sebagai sebuah sisi kelemahan dan kekurangan, melainkan perbedaan ulama itu merupakan kekayaan Islam dan sekaligus rahmat dan kemudahan yang diberikan Allah bagi umat Islam yang tidak ditemukan pada umat lain.
http://ragab304.wordpress.com


alau diperhatikan dari maknanya “fiqh” berasal dari bahasa Arab “fiqhun”, berarti pemahaman yang mendalam atas tujuan gerakan (perbuatan) dan perkataan. Makna ini diambil dari pengertian kata Fiqh dalam Al qur’an.
Famali haa ulaai al qaumi yakaduna yafqahuna hadiitsa ……
…..maka mengapa orang-orang itu (kaum munafiq) hampir-hampir tidak memahami (yafqahuna) pembicaraan sedikitpun ( QS, An Nisa, ’: 78)
…..mereka memilki hati, akan tetapi tidak dapat memahami (QS, Al A’raf [7] : 179 )
waman yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fi addin …..
…..barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Allah pahamkan dalam beragama.
Fiqh shalat secara khusus memiliki kelengkapan makna dan pemahaman yang terkandung dalam setiap gerakan dan ucapan yang disyariatkan oleh Allah Swt. Sehingga setiap gerakan seperti takbir, rukuk, sujud, iftirasy, tahiyyat dan salam tidak hanya sekedar bergerak. Akan tetapi merupakan sebuah simbol-simbol gerak rasa kepatuhan dan kecintaan hati seorang hamba kepada tuhannya. Itu sebabnya mengapa Rasulullah menyuruh umatnya shalat dengan gerakan yang tumakninah, dan tidak dilakukan dengan terburu-buru. Karena setiap gerakan dalam setiap rakaat mempunyai faidah yang berpengaruh terhadap tubuhnya. Pada saat berdiri tumakninah maupun rukuk dan sujud dengan tumakninah, tulang-tulang maupun otot akan merasakan istirahat. Demikian juga setiap bacaan yang diucapkan akan memberikan pengaruh kepada perubahan jiwa bagi yang shalat dengan merendahkan hatinya. Karena setiap berdoa, berarti berhubungan dengan Yang Maha Menciptakan.
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa’ (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra ‘yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ‘ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
• Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
• Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta’akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
• Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi ‘i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ‘i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.

sumber : http://owlyzevitch.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar